Sabtu, 28 November 2009

Reformasi Sistem Penegakan Hukum di Indonesia


Dari Pentas Hukum Rimba

Negara Reptil:

Cicak dan Buaya

(dan Biawak, dan Naga)


Arah Sebenarnya Reformasi

Sistem Penegakan Hukum Indonesia


Oleh: Benni E. Matindas




Perang terbuka antar lembaga-lembaga penegak hukum — POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — memperlihatkan kepada kita sejumlah masalah yang saling berkaitan dan sudah sangat parah mengeroposkan bangunan negara ini. Sudah sedemikian jauhnya keterpurukan dalam hal kualitas fungsi dari semua lembaga penegak hukum, sehingga begitu gampangnya setiap saat bisa dibeli oleh segala pencoleng melalui tangan-tangan para makelar kasus.

Tapi kenyataan mengerikan tersebut sungguh bukan berita baru dan luarbiasa. Itu sudah sama kita tahu, dan sudah amat biasa. Bukan baru sekarang, beberapa tahun lalu sudah terungkap jelas betapa bahkan sejumlah Hakim Agung di Mahkamah Agung RI ternyata sudah biasa melepas fungsi agungnya itu buat menjalankan fungsi sebagai calo jual-beli vonis perkara. Apalagi ‘hanya’ di jajaran kepolisian dan kejaksaan. Makelar kasus (markus) jelas bukan cuma orang-orang dari luar lembaga-lembaga penegak hukum, tapi juga para penegak hukum itu sendiri, bahkan para petingginya, bahkan pula para hakim yang agung. Dan bila lembaga pengadilan sampai di tingkat Mahkamah Agung sudah menyimpang sejauh itu maka pastilah tak mungkin kita berharap kejaksaan dan kepolisian bisa lurus.

Jadi, bukan kesimpulan dan pengungkapan fakta-fakta mengerikan itulah yang terutama hendak disampaikan dalam risalah ini. Yang hendak diberitahu di sini ialah, langsung saja, bahwa masalah-masalah seperti perseteruan antar-institusi penegak hukum itu pasti tak akan mungkin bisa dibereskan oleh segala “Rekomendasi Tim 8” maupun sekadar political will seorang Presiden. Pasti akan selalu timbul lagi. Karena semua ini berpangkal dari masalah ketidakberesan tatanegara dan sistem hukum secara mendasar.

I. Apa yang kita saksikan sebagai konflik antara Polisi dan KPK, KPK dan Kejaksaan, sesungguhnya adalah sesuatu yang niscaya harus terjadi. Selalu akan pasti terjadi, bahkan di luar soal berebut lahan pencaharian karena berkenaan dengan para pencoleng dana besar yang siap menyuap besar demi kelangsungan jabatan tinggi maupun bisnis besarnya.

II. Sebelum kita lanjut dengan melihat apa penyebab keniscayaan itu, perlu kita semua diinghatkan tertang bahaya serta akibat dari konflik antar lembaga penegak hukum yang sudah dan akan terus berulang seperti itu. Bahayanya bukan saja pemberantasan korupsi akan terhambat secara sangat serius, dan akan semakin terhambat serius ketika lembaga-lembaga itu sudah “berdamai” atau lebih tepatnya sedang masuk masa ‘gencatan senjata’, karena mereka akan saling sungkan sehingga banyak area hitam yang tak dimasuki oleh satu pun dari lembaga-lembaga penegak hukum ini meski sudah amat kuat indikasi kejahatan di situ; atau sebaliknya dimasuki berbareng tapi sudah dengan kesiapan untuk berdamai dalam arti sama-sama meloloskan si penjahat yang penting sama-sama dapat untung dan yang lebih penting lagi tak perlu terjadi konflik antar para penegak hukum.

Hambatan terhadap pemberantasan korupsi akan terhambat serius bukan saja oleh gejala psikologis dari para penegak hukum seperti itu, melainkan karena memang potensi dualisme yang sudah ada sedari dasarnya. Potensi terjadinya dualisme ini bahkan bersumber dari dua sebab berjenjang. Pertama, ketidakberesan dalam sistem hukum yang menyuburkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum inilah yang segera menumbuhkan kecenderungan untuk melanggar sistem mekanisme hubungan kerja antar lembaga yang kendati sudah ada; inilah penyebab mengapa POLRI dan Kejaksaan RI pun sering berkonflik sebelum ada KPK (dan konflik antara Polisi dan Kejaksaan hanya terkurangi oleh gejala kerjasama saling “berdamai” demi keuntungan bersama, yang dirasa lebih baik dibanding harus berkonflik). [Mengenai potensi alamiah dan kecenderungan dari pihak Polisi maupun Jaksa untuk tidak menjalankan fungsinya dalam sistem kemitraan yang seharusnya, baca Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, Jakarta: Widyaparamitha, 2005; Bab XIV Bgn 10 dan 11. Terutama dari pihak polisi (hlm.675-7). Meski dari pihak Kejaksaan pun kemudian sama, sehingga berakibat misalnya sepasukan polisi mengepung kantor kejaksaan di Banjarmasin pada tahun 1973, lantaran jaksa menyusun dakwaan yang lemah sehingga hakim membebaskan terdakwa, padahal pihak polisi yang menanganinya di tahap awal sangat yakin dan dengan bukti kuat bahwa yang bersangkutan adalah pelaku kejahatan.]

Penyebab kedua, kehadiran KPK. Dualisme yang menggagalkan penegakan hukum bukannya ditanggulangi malah ditambah dualisme yang baru dan yang lebih pasti. Semakin KPK menyadari fungsi mulianya sebagai juru selamat penegakan hukum yang gagal ditunaikan POLRI dan Kejaksaan justru akan semakin besarlah daya inersia serta resistensi dari Polisi maupun Kejaksaan, dan itulah penyebab jelas dari sikap Polisi ‘mengangkat senjata hukum’ serta mengumumkan perang untuk membuktikan pihaknya sebagai “buaya” di hadapan KPK yang cuma cicak. [Kekacauan sistema akibat kehadiran KPK ini dapat dibaca lebih jelas dalam Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 9 mengenai segala komisi dan mahkamah istimewa untuk menebus kegagalan penegakan hukum.]

III. Jadi, sangat jelas, tak ada harapan sama sekali dengan keberadaan KPK. Karena, terjadinya dualisme serta konflik antara KPK dan POLRI, maupun KPK dan Kejaksaan, sesuatu yang pasti terjadi, akan melemahkan pemberantasan korupsi, bahkan pelbagai korupsi oleh oknum-oknum penegak hukum sendiri. Juga sebaliknya, bila lembaga-lembaga penegak hukum itu tak berkonflik, bila mereka saling berdamai, justru lebih berbahaya karena akan lebih banyak penjahat yang luput dari jerat hukum.

Dan, sekali lagi, tak mungkinnya lembaga-lembaga penegak hukum itu bersinergi dalam suatu sistema mekanisme hubungan fungsional yang benar disebabkan oleh sistem hukum itu sendiri yang tak dapat berfungsi secara seharusnya. Setiap anggota POLRI maupun Kejaksaan, sedari awal karirnya, akan tumbuh dengan kesadaran bahwa percuma untuk sungguh-sungguh menegakkan hukum. Lantaran ujung dari semua proses penegakan hukum, yakni pengadilan dan penghukuman, ternyata dapat dengan gampangnya diselewengkan hakim untuk memihak pada kejahatan dan ketidakadilan. Dan selanjutnya, dan mereka harap untuk selamanya, para hakim tak takut diusut oleh polisi dan jaksa lantaran para polisi dan jaksa sudah ikut keasyikan memperoleh keuntungan pribadi dari sikap serta tindakan tak sungguh-sungguh menegakkan hukum seperti itu.

IV. Jelaslah sudah, pangkal masalahnya ialah sistem hukum yang keliru. Sistem hukum yang tak mungkin mencapai supremasi hukum. M e n g a p a ?

Penyebabnya ada lima sekaligus: (1) Asas independensi hakim yang disalahgunakan, lantaran pengertian yang sudah dirancukan; (2) Kekuasaan peradilan yang tidak diawasi oleh lembaga kekuasaan apapun, lantaran belenggu teori Trias Politika; (3) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi hukum, lantaran falsafah dasar yang kabur; (4) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran konsep keadilan yang sudah diperbanyak artinya; (5) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran asas-asas hukum yang tanpa sistematika keasasian.

1. Asas independensi hakim yang disalahgunakan, lantaran pengertian yang sudah dirancukan. Independensi peradilan sesungguhnya hanya mengenai penolakan terhadap campur tangan pihak manapun dalam proses peradilan; terlebih ditujukan untuk mewaspadai intervensi penguasa yang selamanya memiliki kepentingan serta kecenderungan untuk memanfaatkan posisi kekuasaannya dengan mempengaruhi keputusan pengadilan. Itu saja, dan tak boleh diartikan bahwa hakim boleh bebas sepenuhnya. Tak boleh diartikan bahwa hakim boleh sesuka hati memutuskan tanpa dinilai oleh, dan harus bertanggung jawab pada, lembaga kekuasaan manapun.

Asas independensi hakim harus hanya sebatas tak boleh diintervensi oleh lembaga kekuasaan manapun. Tapi asas ini kemudian telah dilebarkan ke mana-mana lantaran kerancuan (confused) yang terjadi sejak tumbuhnya (dimulai dari dalam sistem hukum di AS) konsep hakim sebagai pencipta hukum dengan asas independensi yang diartikan tidak tergantung pada semua hukum positif yang ada sebelumnya. Ini sesuai dengan filsafat Pragmatisme, yang dianut umumnya masyarakat AS, yang menganggap tak ada kebenaran yang sudah ada sebelumnya, karena kebenaran baru hendak dirumuskan melalui setiap pengalaman/kasus baru. Ekstremisasi asas independensi inilah yang mempengaruhi, melalui perancuan nalar, tumbuhnya pengertian independensi total bagi setiap hakim dan proses peradilan. Padahal, sementara filsafat pragmatisme itu sendiri keliru jika diterapkan secara menyeluruh (karena bahkan peradilan itu sendiri tak akan pernah ada jika semua hukum yang ada harus dinihilkan dan dianggap baru hendak diciptakan lewat proses peradilan), independensi hakim/peradilan tak boleh dan tak mungkin. Tak boleh karena begitulah hukum yang sebenarnya. Dan tak mungkin karena justru ketika hakim tak diawasi oleh suatu lembaga kekuasaan yang hak maka segala kekuasaan yang tak hak (penguasa politik, penyuap dengan uang banyak, pemegang kekuatan fisik, pengerah massa ataupun golongan mayoritas, dan lain-lain) pasti akan dengan gampangnya mengintervensi. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 7 “Fatamorgana Independensi Hakim. Bebas untuk Bingung dan Berbohong!”]

2. Kekuasaan peradilan yang tidak diawasi oleh lembaga kekuasaan apapun, lantaran terbelenggu oleh pola pikir Trias Politika. Sungguh aneh, dalam sistem negara demokrasi, dan pula sudah di zaman modern ini, ada lembaga pemegang kekuasaan besar tapi tanpa diawasi secara mekanistis oleh lembaga kekuasaan lain dengan kadar kedaulatan yang memadai. Kekuasaan pengadilan/kehakiman (yudikatif) berlangsung tanpa diawasi oleh lembaga kekusaan manapun, lantaran dua sebab: para konseptor tatanegara masih terbelenggu oleh pola pikir Trias Politika dan karena lembaga kekuasaan pengawasan tertinggi sudah menjadi tak layak akibat kehadiran partai-partai.

Hampir tak ada lagi negara di muka bumi ini yang tak mengatakan bahwa mereka sudah tak menganut konsep Trias Politika secara murni, tetapi justru beberapa salah kaprah terbesar dari Trias Politika tetap dilestarikan di semua negara itu. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab.VIII.] Konsep pemisahan lembaga-lembaga tinggi kekuasaan negara tersebut menggiring orang di setiap generasi untuk menyetarakan 3 lembaga kekuasaan yang terpisah itu (Lembaga Perwakilan Rakyat, Pemerintah dan Lembaga Peradilan; Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Maka DPR yang adalah lembaga kedaulatan rakyat pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi hanya disetarakan dengan, dan tak berhak mendaulat, pemerintah. Apalagi dalam tatanegara yang — gara-gara memfungsikan partai dalam sistem kelembagaan kekuasaan negara — menganut sistem pemerintahan Presidential/“Kepala Negara” (sebagai koreksi atas sistem parlementer) dan/atau sistem Parlemen Bikameral. Kepala Negara bukan di bawah, bahkan bukan hanya setara, melainkan di atas DPR dan dapat membubarkan DPR. Yang setara dengan Kepala Negara adalah Congress/Parlemen/ MPR saja, bukan Dewan Rakyat/House of Representative/ Majelis Rendah.

Dalam komposisi kesetaraan lembaga-lembaga kekuasaan negara itu pun kekuasaan kehakiman menjadi tanpa pengawasan dan tanpa arah pertanggungjawaban (kecuali pertanggungjawaban pribadi kepada “Tuhan” dan “hati nurani hakim”). Padahal terlarang oleh logika sistem negara demokrasi manapun untuk membiarkan suatu kekuasaan tanpa kekuasaan pengawas dengan kekuatan politik lebih tinggi dan yang bekerja secara mekanistis. Dan kekuatan lebih tinggi serta tertinggi itu adalah/haruslah DPR yang merupakan badan perwakilan/pelaksana kedaulatan rakyat .

Rakyat kehilangan daya daulatnya yang seharusnya tertinggi. Lembaga-lembaga kekuasaan negara berlangsung tanpa pengawasan. Maka hukum yang ada hanya justru untuk ketidakadilan. Kekuasaan negara disalahgunakan di semua lini, semua sektor dan semua tingkatan, hanya untuk kepentingan sendiri dari masing-masing orang. Pengambilan keputusan publik didasarkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu belaka.

Pemerintah sudah disetarakan di puncak, bersama majelis rakyat yang kendati harus satu-satunya tertinggi. Yang benar ialah bahwa yang tertinggi harus hanya satu, tapi sudah dibikin dua, lalu ditambah lagi dengan lembaga yudikatif. Semua sudah bertimbun tumpang-tindih di posisi tertinggi secara setara, maka hilanglah hirarkhi yang padahal mutlak dibutuh demi adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan.

Lembaga peradilan adalah bagian dari fungsi pengawasan. Ia seharusnya berada langsung di bawah dewan rakyat yang merupakan institusi pengawasan negara tertinggi.

Sekarang lembaga peradilan tidak memiliki lembaga kekuasaan di atasnya sebagai pengawas yang sah, padahal ia bukan lembaga tertinggi yang menerima langsung mandat kekuasaannya dari rakyat. Maka pelbagai kekuasaan tak hak pun segera masuk menguasai dan secara real menjadi pengendalinya — kekuasaan dari penguasa pemerintahan, kekuasaan partikular pemilik kekuatan uang, kekuasaan militer pemegang kekuatan fisik, kekuasaan partai pengendali kekuatan massa, kekuasaan media massa pembentuk opini publik, dan sebagainya — sehingga berakibat makin ngawur dan sekaligus lemahnya penegakan hukum secara menyeluruh, sebab putusan pengadilan adalah titik puncak penentu segenap proses sistem hukum.

Para ahli tatanegara di masa lalu, sebagaimana perancang trias politika, memosisikan lembaga kehakiman di puncak lantaran pola pikir yang dirancukan oleh: (1) Terbawa tradisi dari zaman lampau dimana fungsi hakim sangat sentral dalam negara yang aktivitas hukumnya paling dominan dalam hal pembentukan awal budaya tertib, adil, sopan, menjaga keamanan masyarakat dari pelbagai perilaku liar di masa awal pemberadaban. Dibedakan dengan penyelenggaraan negara modern yang sangat dipenuhi aktivitas pembangunan ekonomi. (2) Ada asumsi praktis bahwa lembaga ini toh tak akan berbuat macam-macam karena bukan lembaga politik dan bukan berisi para politisi, tidak seperti dua lembaga lainnya. (3) Pola pikir yang dirancukan oleh asas independensi peradilan/hakim, tak boleh ada kekuasaan dari luar dan apalagi dari atas yang boleh mengendalikan hakim. Akibatnya para hakim yang “tak boleh” tapi tetap bukan tak bisa dikendalikan pelbagai kepentingan para pemilik kekuatan justru dikuasai oleh pelbagai kekuatan tak hak yang sebagiannya menyatu dengan kepentingan pribadi para hakim. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab VIII Pembagian Kekuasaan Negara, dan Bab XIV Bgn 8 “Posisi Tersesat Lembaga Kehakiman”]

Sedangkan para ahli tatanegara di zaman modern masih mempertahankan posisi lembaga kehakiman di puncak tanpa pengawas di atasnya lantaran tiga alasan: (1) Masih tetap dirancukan oleh asas independensi hakim, karena memang merupakan asas yang abadi. Bahkan ada sejumlah masalah dalam penegakan hukum dipercaya dapat diatasi dengan penegakan asas ini. Padahal, walau memang benar asas ini abadi dan selalu dibutuhkan, tapi maksudnya adalah bahwa keputusan hakim untuk mencapai keadilan dan kebenaran tertinggi itu yang tak boleh dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan manapun, bukan keputusan hakim yang “menguntungkan ketidakadilan serta pelaku kejahatan” yang tak boleh dimintai pertanggungjawaban. (2) Kerancuan berpikir yang menganggap check & balance itu sebagai sebuah “sistem” yang jelas karena membayangkan prosesnya sebagai mekanisme berbentuk cyrcle yang mengatup/tertutup — sehingga cukup bisa dijadikan andalan. Padahal checking and balancing, atau sistem hubungan antarlembaga kekuasaan yang bagaimana pun, selama tak memiliki hirarkhi (yang karenanya harus berpuncak pada satu kekuasaan tertinggi), hanya akan menjadi arena adu kekuatan real dimana pihak-pihak yang paling besar kekuatan real akan menjadi pengawas dan pengendali atas semua. Beberapa negara maju bisa cukup mengandalkan formasi check and balance ini karena cukup terkonsolidasinya civil society (yang didasarkan pada kemandirian ekonomi masyarakat, taraf pendidikan, serta budaya kemandirian); masyarakat tak mudah terbeli oleh kekuatan real uang atau terintimidasi oleh kekuatan real militer maupun massa. (3) Sulit bagi para ahli tatanegara untuk bahkan sekadar membayangkan DPR sebagai pemegang kekuasaan pengawasan atas lembaga peradilan, karena DPR bahkan tak mampu menunjukkan diri sendiri sebagai lembaga yang baik atau mampu mengarahkan ke arah keadilan dan kemuliaan. DPR dipenuhi para penyalah guna kekuasaan negara demi kepentingan pribadi dan partai.

DPR yang kendati lembaga kekuasaan pengawas tertinggi dengan kedaulatan tertinggi tapi jelas tak mungkin bisa dipercaya menjadi pengawas sistem peradilan, karena isi serta kinerja DPR yang kualitasnya jauh dari harapan untuk fungsi pengawasan tertinggi negara. Kualitas DPR yang harus rendah akibat keberadaan partai-partai dalam sistem tatanegara.

Jelas memang, satu halangan terbesar, dan berakar, dalam mewujudkan sistem pengawasan yang paling kuat dari lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, berpangkal dari kehadiran partai-partai dalam lembaga-lembaga negara yang didasarkan pada konsep warisan tua yang salah kaprah. Konsep yang mengira partai adalah keniscayaan demokrasi dan fungsi parlemen, padahal demokrasi maupun parlemen sudah lama ada sebelum dan tanpa adanya partai-partai. Baik secara historis maupun filosofis, partai bukan elemen eksistensial dari sistem demokrasi. Tak kalah ngawurnya lagi pandangan yang mengira eksistensi partai adalah perwujudan hak asasi di bidang politik, padahal berpartai memang merupakan hak asasi warga untuk berkumpul dan berserikat tetapi partai-partai itu sendiri tak memiliki hak asasi untuk apapun terlebih untuk menghancurkan negara dan bangsa. Partai tidak memiliki hak asasi, hak asasi hanya melekat pada individu warga. Partai, sebagaimana halnya perusahaan, organisasi masyarakat lainnya, bahkan pula negara, hanya memiliki hak-hak yang diberikan berdasar konsensus warga demi kemaslahatan warga dan bangsa. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab III, IV, VI dan VII.]

Memang pengalaman di sejumlah bangsa terlihat bahwa partai, baik secara historis maupun logis, terposisi sebagai pembentuk lembaga negara. Dan sejarah beserta logika inilah yang selanjutnya dan nyaris selamanya merancukan pola pikir banyak bangsa dalam bertatanegara, menjadi hambatan keras bagi penyempurnaan sistem politik negara-negara ke arah yang sebenarnya. Sejarah di sejumlah negeri terjajah menunjukkan betapa perjuangan mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara oleh bangsa-bangsa tersebut memang mengandalkan peran partai-partai politik (dengan ideologi nasionalisme, keagamaan, maupun pelbagai ideologi modern yang masuk dari luar dengan atau tanpa melalui organisasi internasionalnya). Sejarah ini lantas dijadikan model permanen, bahwa partai mendasari pembentukan lembaga kekuasaan negara. Pola pikir ini bertambah kukuh lantaran dirancukan dengan logika bahwa politik mendahului administrasi negara; penyelenggaraan tatanegara hanyalah implementasi ideologi politik. Padahal itu hanyalah logika sangat umum (tentang hubungan antara ide dan praktik), dan eksistensi serta fungsi negara pun merupakan ide dasar yang di dalamnya berlangsung upaya-upaya/praktik politik. Negara adalah tahap evolusi yang dicapai kebudayaan suatu masyarakat, menjadi bagian obyektif dari eksistensial masyarakat manusia, yang di dalamnya diatur penyelenggaraan praktik politik (termasuk upaya politik warga melalui wadah partai-partai). Sejarah pun tak boleh dijadikan sumber kebenaran satu-satunya; suatu peristiwa dalam sejarah pastilah keliru jika dipaksakan untuk dijiplak menjadi model satu-satunya dan selamanya. Karena, jangankan dari masa lalu, bahkan sebaliknya model yang sangat logis dan jelas memenuhi syarat kebenaran yang dirancang untuk hari ini dan esok pun harus selalu difalsifikasi demi menjamin kebenarannya sebagai pemenuh kebutuhan manusia. [Keharusan ini sudah diketahui oleh banyak orang melalui pengalaman sehari-hari semenjak awal keberadaan spesies berkesadaran ini; sedang rumusannya sebagai wacana epistemologis, yang sempat terdokumentasi, dirintis sejak Aristoteles, Descartes, William James, Dewey, dan terutama Popper.]

Partai hanya layak untuk pelbagai peran dalam masyarakat, termasuk sebagai team sukses untuk pemenangan para kandidat legislator dan eksekutor pemerintahan, di luar fungsi resmi kelembagaan negara. Sistem kepartaian tidak boleh menjadi subsistem atau bagian dari syarat sistem pembentukan maupun pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga negara tersebut. Kehadiran partai secara resmi dalam lembaga kekuasaan negara memerosotkan kualitas setiap lembaga tersebut. Partai-partai memerosotkan kualitas parlemen dalam menjalankan fungsi pengarah dan pengawas negara. Mulai dari rendahnya kualitas anggota parlemen yang terpilih akibat sistem pemilu yang tidak diabdikan pada hakikat pemilu parlemen. Kehadiran partai-partai melogiskan (secara filosofis) dan memaksakan (secara politis) sistem pemilu proporsional, sistem yang hanya diabdikan pada eksistensi serta kepentingan partai. Bukan untuk memilih tokoh yang paling dipercaya rakyat. Setelah duduk di parlemen pun kinerja para anggota sulit berkualitas negarawan, tak boleh berbuat lebih daripada pesuruh partai yang harus berjuang demi kepentingan sepihak partainya sendiri, bukan untuk rakyat dan negara keseluruhan. Penyebabnya tiga sekaligus, dan ketiganya pun ada hanya demi keberadaan serta kepentingan partai: lembaga fraksi, recalling dan kecondongan untuk secepatnya voting. Fungsi fraksi untuk membunuh daya kreatif dan kritis anggota parlemen (— daya-daya utama yang justru adalah fitrah bagi anggota parlemen sejati). Dalam fraksi semua anggota dewan rakyat diresimentasi; keseragaman suara fraksi yang dikomando dari dewan pimpinan pusat partainya mengatasi kecerdasan anggotanya dan memberangus tanggung jawab setiap anggota parlemen pada seluruh rakyat. Sistem fraksi, yang dengannya ada fraksi terbesar, adalah dorongan niscaya untuk parlemen selalu secepatnya mengambil keputusan melalui voting (dan yang sering tertutup pula) sehingga para anggota parlemen bisa menyembunyikan kualitas nalarnya yang minim dan menyembunyikan sikap khianat terhadap konstituennya. Pengawasan yang sungguh-sungguh awas oleh lembaga kedaulatan tertinggi atas lembaga-lembaga kekuasaan lainnya pun menjadi tak mungkin, sebab partai-partai dalam lembaga kedaulatan rakyat (parlemen) memiliki banyak kepentingannya dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara tersebut. Pengawasan pasti berkurang dayanya bila misalnya parlemen didominasi partai yang sama dengan partai penguasa pemerintahan/presiden; demikian pula sebaliknya pengawasan akan berkurang kualitas arahannya bila parlemen didominasi partai oposisi pemerintah, arah kebijakan pemerintah yang sudah benar pun akan selalu disalahkan atau tak didukung.

3. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi hukum, lantaran falsafah dasar yang kabur. Hukum positif dalam suatu negara bisa dikembangkan — dalam arti menjalani progresivitas secara pasti dan bisa diakselerasi, tidak sering mengalami regresi akibat harus menjalani koreksi secara mendasar — kalau dasarnya jelas dan benar. Tetapi dasar untuk pengembangan hukum di Indonesia, yakni Dasar Negara Pancasila, tidak dapat berfungsi sebagai sejatinya dasar falsafah pengembangan hukum. Sebab, sebagaimana kritik dari ahli filsafat Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, Pancasila belum merupakan sistem ide yang utuh, sila-sila dalam Pancasila masih tercerai-berai seperti pasir di pantai. Belum berada dalam kesatuan ide yang koherensif. Sila Pertama mengenai ketentuan setiap warga negara adalah insan yang bertuhan itu bertentangan dengan asas kebebasan dalam negara demokrasi sebagaimana diamanatkan Sila Keempat. Demikian pula sila-sila lainnya. Dengan demikian Pancasila akan selalu dapat ditafsir berbeda oleh setiap orang. Sehingga tak mungkin dapat menjamin konsistensi dalam setiap produk perundang-undangan maupun konsep-konsep bernegara lainnya. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab I Bgn 6. Beberapa ahli telah mengupayakan sistema ide Pancasila; antaranya yang layak dicatat karena memberi kontribusi yang berarti bagi pengembangan konsep Pancasila yakni Prof. Soediman Kartohadiprodjo, Prof. Buya HAMKA, Dr. Mohammad Hatta, Prof. Dr. Mukti Ali, Ds. H. Rosin dan Prof. N. Drijarkara (— lainnya cuma mengajukan pelbagai konsep yang lucu dan melantur kendati mengira sebagai kajian “ilmiah”, sebagaimana jelas terbaca pada begitu banyak buku yang diberi judul “Filsafat Pancasila” yang kendati digunakan di pelbagai perguruan tinggi). Namun semuanya belum memadai sebagai sebuah kesatuan sistem ide khas Pancasila dengan pemaknaan sila-sila yang khusus dan jelas.]

Sebetulnya, sebelum sistem filsafat Pancasila selesai dirumuskan secara benar dan jelas, hukum positif setiap negara dapat dikembangkan berdasar dan bersumber pada hak-hak asasi manusia (HAM) yang pula harus dikembangkan terus-menerus secara dinamis untuk menjadi dinamisator pengembangan umat manusia. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab II Bgn 2-7 dan Bab I Bgn 1]

4. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran konsep keadilan yang sudah diperbanyak artinya. Pengertian “keadilan” sudah multi-makna. Keadilan sebagai fitrah hukum yang pengertiannya harus jernih, sederhana, tandas dan tegas, sudah dimengerti dengan banyak makna, sehingga justru berpotensi mengacaukan, menimbulkan kondisi relatif, dan akhirnya ketidakpastian hukum. Terhalanglah penegakan keadilan, dan berkembanglah ketidakadilan. Sangat menghalangi pencapaian supremasi hukum.

Keadilan tak boleh lain artinya dari kesamaan (equality). Persamaan hak. Justice, dari kata justus yang berarti lurus, rata, samarata atau tak timpang. Dua bilah timbangan berada dalam garis lurus mendatar. Tapi dalam perkembangannya — sejak para arifin dalam pelbagai agama maupun para filsuf bangsa-bangsa kuno — sejumlah kondisi bajik lainnya sudah diberi nama “adil”. Sesudah itu masih pula bertambah terus, bahkan beberapa filsuf sosial di zaman modern — salah satu yang terkenal yakni John Rawls, yang telah mengembangkan konsep atau pengertian keadilan yang justru bertolak belakang dengan prinsip equalitas. Padahal yang Prof. Rawls maksud itu sebenarnya bukan keadilan sebagai asas dari suatu proses/tindakan, yang ia maksud hanyalah sebagai program untuk memperbaiki kondisi buruk yang merupakan ekses dari suatu proses. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab II Bgn 9.]

Pembanyakan, dan pembingungan, makna “adil” terus berlangsung. Belakangan yang terkenal ialah dari filsuf-filsuf Derrida dan Habermas. Tapi pada prinsipnya sama saja, mereka sebetulnya tidak membicarakan asas yang tetap dari suatu proses — yang menjadi kebutuhan dalam sistem hukum. Apalagi Jacques Derrida, yang meyakini bahwa setiap undang-undang (sebagaimana setiap teks apapun) hanya ditujukan untuk pihak tertentu dan menelantarkan banyak pihak lainnya, sehingga dalam setiap penerapan undang-undang dan aturan hukum manapun sudah pasti tak mungkin ada keadilan bagi pihak-pihak yang lain itu. Jelas bahwa Derrida hanya terjebak pada grand idea filsafatnya sendiri yang memaksa setiap kita untuk harus memerhatikan dan memosisikan secara sama sekaligus semua yang ada di alam semesta ini, karena semuanya saling terkait dalam satu struktur, dan karena mengira tak ada kesempatan berikut untuk kita memerhatikan semua yang lain dari yang sekarang menjadi perhatian kita.

5. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran asas-asas hukum yang tanpa sistematika keasasian. Asas-asas hukum dipegang tanpa sistematika mengenai mana yang lebih mendasar atau lebih asasi dan yang mana yang lebih bersifat derivatif atau hanya implikasi dari asas lain yang lebih mendasar. Akibatnya yang terparah: (1) Kebenaran tertinggi tak pernah dapat dijamin pencapaiannya; (2) Tafsir atas undang-undang menjadi sangat nisbi atau relatif, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum luar biasa; (3) Makna atau pengertian dari setiap asas hukum bisa bergeser jauh dari hakikatnya. Contoh dari akibat yang tersebut pada butir ketiga terlihat jelas misalnya pada pengertian asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali — tak ada kejahatan dan hukuman kalau sebelumnya tak ada peraturan mengenainya. Asas ini sekarang sudah dimaknai sedemikian rupa sehingga misalnya pencoleng uang negara yang kendati sudah terbukti melakukan tindakan pengambilan atas apa yang bukan haknya dapat dibebaskan dari tuduhan korupsi bila dapat mengembalikan uang itu, karena dengan mengembalikannya maka ia dianggap tak memenuhi pasal tentang tindak pidana korupsi yang menyebut “merugikan keuangan negara”. Begitu juga dengan tindak pembunuhan yang kendati sudah jelas-jelas ada yang tercabut nyawanya. Padahal makna dan tujuan asas ini yang sebenarnya tidak demikian. Asas ini, yang pertama kali masuk dalam sistem hukum melalui piagam Magna Charta pada tahun 1215, jelas dimaksud untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa yang di zaman dahulu bisa dengan sesukanya bertindak apa saja kapan saja. Dengan asas ini maka sang raja hanya boleh melakukan apa yang sudah ada aturannya lebih dulu. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 2 “Asas-asas Hukum Tanpa Sistema Keasasian”.] *

Selama lima masalah dalam sistem hukum ini belum dibereskan, berapa banyak pun komisi negara yang hendak dibentuk tetap saja tidak akan pernah bisa membawa hasil yang diharapkan bagi pemberantasan korupsi maupun penegakan hukum secara cukup berarti di negara kita ini.

* * * * *

*) Contoh lain penggunaan asas hukum secara serampangan: Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR-RI dan KPK bersama POLRI dan Kejaksaan Agung RI pada November 2009, seorang Anggota DPR yang kendati seorang professor mengatakan bahwa legalitas (yang dalam hal ini ia artikan: adanya dan dipatuhinya aturan yang tertulis) merupakan asas Negara Hukum. Jelas ini sangat keliru, bahkan terdapat pertentangan dengan prinsip negara hukum yang banyak dianut.

Negara RI adalah negara hukum. Ketetapan ini sudah termaktub dalam penjelasan resmi konstitusi kita yang digunakan sejak 1945, dan sejak tahun 2001 melalui Amandemen Ketiga sudah dimasukkan sebagai Pasal 1 (3) UUD ‘45. Negara hukum berarti tak boleh ada tindakan pihak manapun yang bertentangan dengan hukum, dan bahwa kekuasaan setinggi apapun tidak boleh menjadi dasar atau pengabsah suatu tindakan. [Dulu istilah negara hukum atau rechtsstaat diperlawankan dengan negara kekuasaan atau machtsstaat, sebagaimana dapat kita baca pada Penjelasan UUD RI 1945. Tapi kemudian sejumlah ahli hukum tatanegara mengoreksi, karena negara hukum juga memiliki dan perlu mengandalkan kekuasaan.]

Negara Hukum memang harus disertai penjelasan mengenai asas-asasnya, agar membedakan dengan yang bukan Negara Hukum. Karena semua negara memiliki hukum. Ribuan tahun lampau Kerajaan Sumeria di bawah Raja Hammurabi sudah menerapkan undang-undang berkekuatan hukum, kemudian sejumlah negara theokratis bahkan sudah memegang hukum yang diyakini berasal dari kebenaran Tuhan, tetapi faktanya bahkan sampai tiga ratus tahun lalu umumnya negara di dunia masih berlaku sewenang-wenang atas warganya dan menista kemanusiaan.

Legalitas memang merupakan asas yang penting, tetapi tentu saja sangat tak memadai sebagai prinsip negara hukum. Para penyelenggara machtsstaat juga menerbitkan undang-undang tertulis untuk segala tindakan despotis, tirani, dan teror atas warga mereka. Di samping itu, dan ini yang justru bertolak belakang, sebagaimana salahsatu prinsip Negara Hukum yang diajukan Albert Venn Dicey (1835-1922): bahwa bahkan UUD tak memadai sebagai sumber hukum positif, melainkan kehendak untuk menegakkan hak-hak asasi manusia setiap wargalah yang merupakan sumber pengembangan hukum secara terus-menerus.

Itu adalah prinsip yang benar. Karena bukankah sangat sering ternyata betapa konstitusi malah menjadi penghalang laju pengembangan hukum?!

Asas yang diajukan Prof. A.V. Dicey ini memang paling sering disalah mengerti. Umumnya ahli di pelbagai negara hanya menganggap bahwa Dicey sedang membahas khusus negara Inggris yang tanpa sebuah naskah khusus berisi UUD. Sementara umumnya pembaca di negara-negara lain di luar Inggris sudah terlanjur mempersepsi serta memperlakukan UUD sebagai sesuatu yang nyaris keramat dan ideologis, sehingga tak menilai penting pengertian terdalam dari asas yang diajukan Dicey tersebut. Umumnya ahli hukum di seluruh dunia hanya memberi perhatian pada asas rule of law yang pertama kali diajukan oleh A.V. Dicey.

BEM

Neo Liberalisme, Apa itu?


Neo-Liberalism

Neo-Liberalisme

New Liberalism

NeoLib

Oleh:

Benni E. Matindas

D

i tengah hiruk-pikuk persaingan para politisi di negara-negara berkembang, isu “neo-liberalisme” sering diangkat ke permukaan. Terutama untuk menjelek-jelekkan lawan. Begitu juga di Indonesia, seperti saat Pemilu 2009 lalu maupun sesudahnya sampai hari-hari ini. Para politisi beserta kubunya masing-masing saling tuding “neo-liberalisme”, sambil menyebut diri pembela “ekonomi kerakyatan”. Neo-liberalisme dimitoskan sebagai momok menakutkan.

Isu “Neo-Liberalisme” kali ini lebih nyaring resonansinya, karena belum lama itu jugalah yang diteriakkan menyusul kecamuk krisis finansial global berikut pelbagai dampaknya. Krisis global ini dituding sebagai penyakit inheren dan niscaya dalam sistem Neo-Liberalisme yang pula sering diidentikkan dengan Kapitalisme. Maka sistem dan paham terkutuk itu mesti enyah. Tapi sebaliknya pula, adalah neo-lib yang tetap kukuh dipercaya umumnya negara. Malah George Bush di akhir masa jabatannya sebagai Presiden AS, pada KTT G-20, masih menitipkan wasiat untuk terus mempertahankan sistem ekonomi yang diyakininya bukan penyebab krisis tapi justru solusi atas krisis. Ya, di pihak lain neo-lib memang diyakini laksana mitologi keramat dan penyelamat.

Apa sebetulnya Neo-Liberalisme? Mengapa ia dikutuk dan ditakuti? Jika ia memang berbahaya, di mana kelirunya sebagai sebuah konsepsi sistem ekonomi?

Apa sebetulnya Neo-Liberalisme?

Untuk lebih mudah memahami Neo-Liberalisme perlu lebih dulu mengerti apa itu Liberalisme.

Dalam uraian berikut kita akan melihat sejarah Liberalisme dalam perannya sebagai paham politik. Awalnya, abad XVIII, konsep ekonomi liberal ikut membentuk paham politik Liberalisme, dan di kemudian, pada abad XX, kekuatan politik Liberal yang justru mengangkat dan bahkan membentuk format perekonomian yang disebut “neo-liberalisme”.

Liberal sebagai Sikap dan Pola Pikir

Liberalisme bermula dari sikap dan pola pikir liberal (bebas) yang tumbuh subur pada abad XVII. Bebas dari apa? Liberal adalah sikap dan pola pikir yang berupaya membebaskan diri dari kungkungan tradisi, budaya feodalisme dan belenggu ajaran agama yang dinilai mengerdilkan kecerdasan manusia. Ya, sikap dan pola pikir liberal tumbuh subur seiring tumbuhnya filsafat dan pandangan hidup yang lebih mengandalkan akal — dalam arti tak hanya menggantungkan kebenaran pada apa yang dipercayai begitu saja secara turun-temurun seperti ajaran agama, tradisi dan nilai-nilai budaya feodal. Sikap dan pola berpikir bebas ini pun semakin berkembang meluas seiring berkembangpesatnya penemuan ilmu pengetahuan. Tuntutan untuk bebas menjadi keras, karena para pemimpin agama, para tuan tanah dan keluarga ningrat tentu saja bersikukuh mempertahankan posisi nikmat dan kekuasaan mereka. Selama berabad-abad mereka menikmati hidup di kelas tertinggi, beberapa keluarga dinasti pewaris tahta kerajaan secara turun-temurun bahkan dipandang sebagai titisan Tuhan atau Dewata sehingga memiliki hak sangat istimewa di atas warga masyarakat rata-rata. Lalu kesadaran umat manusia mengalami pencerahan, akal sehat tak bisa lagi menerima segala paham tradisional yang menista rakyat. Pelbagai penemuan ilmu menyadarkan bahwa ajaran agama-agama bukan satu-satunya sumber kebenaran, bahkan sering terdapat pertentangan antara hasil penelitian ilmiah dan apa yang tercantum dalam kitab suci (—ingat misalnya ilmuwan Kopernikus dan Galileo yang hendak dihukum oleh gereja; Giordano Bruno bahkan dihukum bakar hidup-hidup sebab membangun teori yang selaras dengan, dan makin menguatkan, teori Kopernikus).

Liberalisme sebagai Paham Politik/Politik-Ekonomi

Sebagai pola pikir, liberalis pun mengisi kesadaran serta pemikiran politik. Dan tampillah sederet filsuf politik — John Locke (1632-1704), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Thomas Paine (1737-1809), dan seterusnya — para raksasa ilmu politik yang karya-karya pemikirannya mewarnai dunia politik modern sampai hari ini. Namun sejauh itu, konsep politik yang mereka buahkan dari pola pikir liberal tersebut bukan dinamai “Liberalisme” melainkan Demokrasi. Ya, mereka mengangkat kembali sistem politik dari zaman Athena Yunani kuno (— demos kratos —) yang didalamnya rakyat memilkiki kebebasan serta kedaulatan untuk mengarahkan sistem negaranya bagi kepentingan rakyat sendiri, tetapi tentu saja dengan menambahkan dasar-dasar filosofis sangat kuat tak terbantahkan beserta sistem organisasi dan mekanisme yang lebih jelas, logis, dan menjamin keadilan bagi semua warga. Dengan sangat banyak dalil serta pembuktian, disimpulkan bahwa kemanusiaan hanya mungkin dimajukan ke arah kebahagiaan sejati dalam negara demokrasi yang menjamin kebebasan, keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Bersamaan dalam masa itu, terbit karya agung Adam Smith (1723-1790), filsuf moral yang dengan bukunya ini menjadi tokoh perintis utama ilmu pengetahuan baru yang disebut Ekonomi-Politik. Smith mengungkap sebuah hukum alam dalam kehidupan perekonomian manusia, bahwa kebebasan yang sebebas-bebasnya (dari campur tangan penguasa) adalah jalan niscaya menuju kemakmuran seluruh bangsa. Jangan dilarang bila seorang niagawan menaikkan setingginya harga produknya, karena dengan harga yang tinggi itulah maka komoditas tersebut akan menggiurkan serta mengundang banyak investor baru, sehingga produsen sejenis menjadi banyak, dan mereka akan bersaing dengan cara mempertinggi kualitas produknya dan sekaligus berlomba memasang harga termurah. Hasilya: seluruh rakyatlah yang akan menikmati harga yang murah dan kualitas yang tinggi dari konsumsinya itu. Lagi pula, penguasa tak mungkin bisa sepenuhnya melarang tingkat harga, karena produsen dan pedagang akan menyimpan barang itu sehingga masyarakat yang mengalami kesulitan, mereka akan tetap menjual secara sembunyi-sembunyi sehingga sebagian besar masyarakat menjadi susah dan pemerintah pun tak menerima pajak, atau mereka akan menyelundupkan ke pasar wilayah lain. Jadi harga akan turun sendiri melalui mekanisme alamiahnya yang justru lebih ampuh, dan sekaligus dengan hasil terbaik bagi masyarakat umum. Begitu pula segala bentuk campur tangan negara dalam perekonomian, yang dikira “bijaksana, menertibkan, dan demi menolong rakyat”, dalam jangka panjang akan terbukti justru berbahaya, mengacaukan, merapuhkan, melemahkan, dan menghancurkan. Segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti proteksi (untuk melindungi produsen dalam negeri terhadap serbuan produk atau investor asing, maupun terhadap sesama investor dalam negeri yang baru), monopoli dan monopsoni (dengan atau tanpa atas nama perusahaan “milik negara”), semuanya berbahaya dan hanya menuju kerugian seisi bangsa. Sejumlah ahli ekonomi kemudian menambah sempurna teori ekonomi Adam Smith yang berasas utama kebebasan ini. Terlebih ekonom Leon Walras, dalam hal pengagungan nilai bebas (liberal). Namun sejauh itu, paham ilmu ekonomi inipun bukan, atau belum, disebut Liberalisme. Melainkan Sistem Ekonomi Pasar, atau paling jauh: Pasar Bebas.

Pola pikir liberal serta ajaran Demokrasi segera menjadi pandangan politik. Menjadi pengarah perjuangan politik. Apalagi karena ada lawan politiknya, yakni para penguasa negara, negara-agama, agama-negara, dan penguasa ekonomi yakni para tuan tanah, yang berusaha dengan segala jalan kekerasan mempertahankan posisi nikmat mereka. Puncaknya, Revolusi Kemerdekaan Amerika 1776 yang melahirkan negara demokrasi modern pertama di dunia, dan kemudian Revolusi Prancis 1789 yang mengangkat semboyan “Liberte, Egalite, Fraternite”. Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan.

Di beberapa negara, dimulai di Inggris pada abad XIX, berdirilah Partai Liberal, dengan paham “Liberalisme”. Inilah pertama kali muncul istilah Liberalisme. Liberal sudah menjadi sistem ideologi politik, menjadi isme.

Perkembangan Posisi Politik Liberalisme

Sejak Liberal maupun Liberalisme menjadi paham politik, maka lika-liku perjuangan serta polarisasi antar-kubu politik telah membawa istilah serta makna Liberal pada posisi yang sudah sedemikian sering bergeser, sehingga kalau tak cukup diuraikan sejarahnya maka akan membingungkan. Prof. Steele dari Universitas Leeds sampai menyimpulkan: “Adalah sia-sia mempelajari isme ini kecuali melalui pengertiannya dalam praktik.” (ED Steele, “Liberalism”, dalam Michael A.Riff, Dictionary of Modern Political Ideology, 1982).

Lihat misalnya di AS, Partai Republik yang berhaluan Liberal menjadi musuh bebuyutan Partai Demokrat. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Demokrasi adalah konsep politik utama yang dilahirkan dari pola pikir Liberal. Sekarang Demokrasi telah jadi lawan Liberal. Bahkan menyusul kemenangan pertama Partai Republik, dengan tampilnya Presiden Abraham Lincoln pada tahun 1860 dan partai ini mendominasi kursi kepresidenan AS sampai 1932 (menang dalam 14 dari 18 pilpres), sekelompok tokoh Partai Republik lebih mempertegas ideologi Liberalisme mereka dengan mengangkat nama Partai Republik Liberal pada 1872.

Apa yang terjadi sampai istilah-istilah Liberal, Demokrasi dan Republik — yang sebenarnya sejiwa — itu kemudian jadi saling bertentangan?

Liberal, Demokrasi dan Republik sebetulnya memang adalah konsep-konsep yang sejiwa. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Demokrasi adalah anak kandung Liberal, Demokrasi adalah perwujudan pola pikir Liberal dalam bidang politik (sedang Pasar Bebas adalah perwujudan pola pikir Liberal dalam bidang ekonomi). Begitu pula Republik (res: untuk, publica: rakyat umum), adalah sejiwa dengan Demokrasi, sama-sama mengutamakan rakyat. Itulah mengapa sistem negara baru yang dibuahkan oleh revolusi demokratisasi di Prancis yang mengangkat semboyan liberal (“liberte”) itu dinamakan Republik, 1792. Dan setiap kali terjadi reversi anti-demokrasi, selalu balik ke sistem Republik sehingga ada Republik Kedua, Republik Ketiga dan seterusnya. Itulah pula mengapa nama dari partai politik yang sepanjang hampir satu abad pertama menguasai AS, partai yang didirikan para proklamator kemerdekaan (liberty) dari negara demokrasi modern pertama itu, adalah Partai Demokrat Republikan. Baru di kemudian hari kata “Republikan” tersebut dihapus, tinggal “Partai Demokrat”.

Pertentangan dalam istilah-istilah itu berawal ketika munculnya gerakan Sosialisme yang sejak tengah abad XIX dipertajam oleh analisis-analisis Marx, Engels, dan lain-lain. Mereka membedah bahwa ternyata paham Liberal (dalam politik: Demokrasi, dan dalam ekonomi: Pasar Liberal) tidak seindah janji-janji teorinya. Ketimpangan, pemiskinan sistematis, ketidakadilan struktural maupun ketidakadilan moral individual, penghisapan manusia atas manusia, adalah kondisi-kondisi yang pasti dalam demokrasi dan sistem pasar bebas/kapitalisme. Kebebasan dan persamaan hak yang ditegakkan oleh sistem demokrasi tak lebih hanya berfungsi sebagai sarana resmi yang dijaga oleh hukum negara untuk makin memperkaya orang kaya dan makin menyengsarakan rakyat banyak yang miskin.

Walau Revolusi Sosial tahun 1848 dapat dipadamkan penguasa, tetapi kebenaran sudah masuk dalam sistem kesadaran manusia. Dan sebaliknya pula, Demokrasi dan Pasar pun bukan tak mengandung kebenaran, hanya perlu dikoreksi, dicurigai, tak boleh dibiarkan lagi untuk sebebasnya. Nah, sikap kritis terhadap Demokrasi (Pemerintahan oleh Rakyat) tersebut, merasa mendapat nama yang tepat: Republik (Pemerintahan untuk Rakyat). Karena menurut kubu kiri/Sosialisme, walau pun pemerintahan oleh rakyat, walaupun rakyat yang berkuasa melalui pemilu dan parlemen, tapi ternyata kemakmuran tidak untuk rakyat.

Itulah logika dan riwayat bipolar “Republik” vs “Demokrat”. Paham “untuk rakyat” dan “oleh rakyat” memang sangat sukar dipertemukan. Pidato Lincoln yang tersohor “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”, dinilai orang sebagai rumusan yang baru di tahap kata-kata. Sesuatu yang hanya mudah diucapkan. Rezim Partai Republik Lincoln memang bisa mendominasi hingga 70 tahun, hanya berkat keberhasilan dalam perdamaian Utara dan Selatan, penghapusan sistem perbudakan, dan keberhasilan ekonomi pertanian yang membawa kesejahteraan rakyat, sampai-sampai Lincoln yang kendati Partai Republik sering dipandang sebagai simbol demokrasi Amerika (termasuk oleh Presiden Obama dari Partai Demokrasi pada abad XXI). Tetapi secara konseptual, “untuk rakyat” dan “oleh rakyat” tetap belum punya rumusan pemaduannya.

Sudah seratus tahun kemudian, Presiden Sukarno dan Soeharto di Indonesia terbukti masih merasa menjalankan politik mulia dengan menggusur demokrasi, demi politik pembangunan “untuk rakyat”. Demikian pula di banyak negara lain, seperti Uni Soviet, RRC, dan sangat banyak lagi.

Begitulah perhadapan antara “demokrasi” dan “republik”, Demokrat dan Republikan. Tapi itu hanya salahsatu dari beberapa polarisasi yang berkembang, yang bermuara pada konstelasi seperti yang kita saksikan sekarang.

Polarisasi lainnya, yakni “Liberal” vs “Demokrasi”. Padahal Demokrasi adalah anak kandung dari Liberal. Demokrasi pun berasas utama liberal (bebas). Lalu bagaimana sampai berkembang polarisasi “Liberal” vs “Demokrasi” ini? Dimulai dengan kekhawatiran kelompok-kelompok politik liberal (bebas) — seperti Partai Republik, Partai Liberal — pada keberadaan partai kiri (Sosialisme, Marxisme, Sosialisme-Demokrasi) maupun ekstrem kanan (Fasisme, partai berideologi agama) yang semuanya berhaluan anti-kebebasan (anti-liberal). Partai-partai berhaluan anti-liberal ini dicurigai hanya menjadikan demokrasi sebagai sarana sementara untuk mereka dapat diterima masyarakat, karena demokrasi berarti harus membiarkan politik haluan manapun untuk bebas hidup dan berjuang. Dan setelah mereka menang, demokrasi akan mereka bungkam (seperti pengalaman di Jerman dengan Partai National-Sozialismus, NAZI, demikian pula di Italia, dan pelbagai partai keagamaan yang setelah menang berlaku tak adil pada kaum minoritas). Itulah latar belakang polarisasi “Liberal” vs “Demokrasi”. Itulah pula riwayat mengapa Partai Republik berhaluan liberal, dan mengapa pula Partai Liberal di mana-mana merupakan lawan partai buruh, partai sosialis, partai marxis, dan sebagainya.

Haluan liberal pun adalah stempel untuk partai konservatisme yang kanan. Bagaimana pula riwayatnya? Posisi “kanan” dalam hal ini bukan kanan yang sama dengan Fasisme/NAZI. Kanan dalam hal ini hanya sebagai lawan dari sayap kiri (Sosialisme/Marxisme). Seperti partai Golkar di Indonesia di masa Orde Baru, ia menjadi lawan PKI dan seluruh sayap kiri, menjadi partai konservatif. Posisi koservatisme kanan inilah yang membuat kita merasa cukup logis ketika suatu saat pucuk pimpinan Golkar mengidentikkan partainya dengan Partai Demokrasi Liberal (LDP) di Jepang.

Tapi riwayat sebenarnya dari polarisasi “Konservatif” vs “Demokrat” harus ditelusuri jauh di belakang. Yaitu sejak ahli politik Edmund Burke (1729-1797), filsuf GWF Hegel (1770-1831), Adam Muller (1779-1829), dan sebagainya. Mereka menilai demokratisasi, yang antaranya ditandai dengan Revolusi Prancis, hanya kegaduhan dan perombakan terhadap tatanan yang sudah ada, dan tanpa membawa tata baru yang cukup baik. Demokrasi hanya membawa instabilitas. [Ajaran Hegel dan Muller digunakan Mr. Supomo ketika membela posisi Bung Karno menghadapi Bung Hatta dalam sidang-sidang perumusan dasar negara dan konstitusi tahun 1945. Hatta memperjuangkan pasal-pasal demokrasi, seperti HAM dan sistem federalisme. Sebaliknya Sukarno menolak keras. Posisi konservatisme Sukarno ini pula yang kemudian, baru 2 bulan jadi Presiden, sudah dijatuhkan sebagai Kepala Pemerintahan oleh kelompok Sjahrir, dan Sjahrir menjadi Perdana Menteri. Lantaran Sukarno dituding berhaluan fasisme Jepang.

Itulah sejarah ringkas haluan politik Liberalisme sampai tiba pada posisi sekarang ini dimana Liberalisme maupun Konservatisme menjadi haluan politik “sayap kanan”. Liberalisme menjadi haluan Partai Konservatif di Inggris berhadapan dengan sayap kiri yakni Partai Buruh, Sosialis dan sebagainya. Liberalisme dan konservatisme menjadi warna sayap kanan AS, Partai Republik.

Dengan latar belakang itulah kita, berikut ini, akan mencermati tampilnya Neo-Liberalisme dalam politik ekonomi.

Liberalisme Tergusur, Neo-Liberalisme Tampil

Sejak pertengahan abad XX, sistem ekonomi Pasar Liberal tergusur. Teori besar Adam Smith, Walras, dan seterusnya, kehilangan pamor. Depresi besar semenjak 1929 sepenuhnya dinilai sebagai kegagalan sistem pasar bebas atau kapitalisme.

Surutnya sistem ekonomi liberalisme tersebut kian bertambah oleh 2 gelombang besar yang datang menggusurnya. Yakni tampilnya teori Keynes dan maraknya Neo-Marxisme/New Left.

Teori John Maynard Keynes menjadi pukulan sangat besar terhadap teori Pasar Bebas. Karena, Keynes membedah betapa kehidupan ekonomi masyarakat manusia tidak berlangsung secara otomatis membentuk keseimbangan sempurna sambil terus-menerus membawa kemakmuran setingginya bagi seisi bangsa, sebagaimana teori Adam Smith. Bahkan sebaliknya, stagnasi ataupun pengurangan volume aliran uang dalam siklus “produksi à income à saving/investment à produksi”, sehingga mengakibatkan stagnasi, resesi serta depresi, adalah justru merupakan kecenderungan alamiah. Karena itu, selanjutnya, Keynes mengajukan solusi — yang bertolak belakang dengan prinsip liberal — berperannya pemerintah secara sangat sentral dari hulu hingga hilir perekonomian masyarakat. Dari distribusi modal, pengarahan produksi (melalui kelayakan kredit, proyek-proyek tertentu yang diharap men-stimulus produksi komoditas-komoditas tertentu), hingga pengendalian inflasi, dan banyak lagi. Perekonomian harus ada stimulus, dan ini hanya mungkin diperankan pemerintah. Sedemikian logis dan mudahnya teori Keynes dimengerti serta diterima para pemimpin negara-negara, sedemikian cepatlah Liberalisme berlalu dan dianggap dongeng dari masa lampau.

Teori Keynes yang berorientasi utama pada pembukaan lapangan kerja, yang secara pasti dapat dicapai melalui pembangunan/pertumbuhan dengan hanya mengutak-atik pengendalian makro-ekonomi (fiskal dan moneter), sudah pasti sangat laris. Bukan saja pemerintah di umumnya negara dunia segera mengadopsinya untuk jadi sistem ekonomi di dalam negaranya, mereka bahkan dengan penuh optimis bergandeng tangan mewujudkan teori Keynes pada skala dunia (dan untuk itu segera didirikanlah IMF dan World Bank).

Seiring dengan itu, bangkit pula musuh bebuyutan Liberalisme yakni Sosialisme/Marxisme. Liberalisme makin dibungkam. Filsafat New Left (Kiri Baru) merajai kampus-kampus tanpa kecuali di negara-negara kapitalis Eropa dan Amerika. Wacana ilmu ekonomi sedunia mengunggulkan dewa-dewa Neo-Marxis seperti Paul Sweezy, Ernest Mandel, Paul Baran, Immanuel Wallerstein, dan sangat banyak lagi. Pemikiran kiri pun mewarnai para ilmuwan sosial dari pelbagai latar keagamaan (— ada sejumlah pemikir Social-Gospel Protestan seperti Ernst Bloch, sebarisan panjang eksponen Teologi Pembebasan Katolik seperti Gustavo Gutierrez, sedemikian banyak pemikir besar Sosialisme-Islam seperti Ali Shariati).

Puncaknya, bersamaan ketika dunia sedang bersorak-sorai mengelu-elukan kemenangan Komunis atas AS dan Prancis di kawasan Indocina, PBB mencetus resolusi New International Economic Order (Tata Ekonomi Internasional Baru) yang anti-liberalisme. Bahkan siap menggusur IMF dan Bank Dunia. Indonesia, dan banyak negara belum berkembang, dengan gagah-berani meneriakkan “go to hell with your aid” kepada segala dana dan bantuan dari negara-negara kapitalis. Saya kiri sedunia sedang di puncak kejayaan, baik secara filosofis maupun politis.

Tapi di tengah arus kiri yang menggelombang dahsyat itu, suara beberapa pemikir bebas bukan tak ada. Terutama Hayek dan Friedman, juga dapat disebut Enoch Powell yang tampil lebih kemudian.

Hayek laksana “nabi baru” dari Liberalisme yang berseru-seru sendirian, sejak bukunya The Road to Serfdom (1944), Individualism and Economic Order (1949) dan The Constitution of Liberty (1960). Dengan kajian sangat mendasar dan paparan logika-logika sangat jernih, ekonom Inggris asal Austria ini menjelaskan ihwal mutlaknya pemurnian kebebasan pasar dan kehidupan politik. Setiap intervensi pemerintah adalah pengurangan kebebasan, dan ketidakbebasan ekonomi tak lain adalah perhambaan (serfdom). Peran pemerintah, sesedikit apapun, adalah jalan niscaya menuju totaliterisme.

Milton Friedman dengan sejumlah tulisannya, antaranya buku Capitalism and Freedom (1962), bukan saja mengutuk sistem sosialisme dan segala bentuk etatisme. Tapi juga teori Keynes, yang kendati berjasa besar menyelamatkan sistem pasar bebas dengan hanya sedikit campur tangan pemerintah. Bahkan lebih jauh, segala subsidi dan program welfare pun didampratnya sebagai “penipuan terhadap warga yang justru produktif dan setia membayar pajak bagi pembangunan bangsa!”

Di tengah arus besar pemikiran “kiri” yang tengah melanda jagat intelektualitas, Hayek dan Friedman seolah mata pisau sangat tajam yang mampu mengiris suatu celah untuk jalan tembus mencapai kesadaran baru. Di tengah gemuruh dan revolusi Sosialisme/Marxisme, Hayek dan Friedman diterima layaknya pencerahan yang lebih murni bagi akal sehat.

Mereka bukan saja dinilai mampu jadi pelawan arus besar, tapi pada tahun-tahun itu juga mereka sudah dipandang sebagai pengisi kesadaran dan akal sehat di tengah gemuruh ideologi politik sosialisme dunia maupun penganutan sistem ekonomi Keynesianisme yang menjadi andalan satu-satunya negara-negara kapitalis. Keduanya banyak mengurai kekeliruan serta bahaya sistem Keynes, terutama mengenai inflasi dan pengangguran.

Tahun 1974 Friedrich August von Hayek dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi (meski masih bersama Gunnar Myrdal yang anti-kapitalisme karena masih di tahun-tahun dominasi kiri). Dan langsung disusul dua tahun berikutnya untuk Milton Friedman.

Pemberian Hadiah Nobel menandai kehadiran neo-liberalisme sebagai teori yang hendak ditegakkan dengan kekuatan politik. Dasawarsa 1970-an itu di AS sampai muncul Partai Liberal pimpinan Ed Clark, dan langsung meraih banyak dukungan.

Namun sejauh itu, istilah Neo-Liberalisme bukan equvalen dengan teori Friedman dan Hayek. Aliran Friedman lebih dikenal dengan Monetarism. Meski sangat lumrah cap neo-lib bagi mereka, mengingat mereka sebagai generasi baru yang pula membawa elemen-elemen yang sama sekali baru bagi sistem pasar yang dirintis para ekonom liberal generasi sebelumnya (Adam Smith, Walras, dan sebagainya).

Istilah Neo-Liberalisme baru mulai digunakan seiring penerapan teori pasar liberal generasi baru itu. Dipelopori Presiden AS Ronald Reagan dan PM Inggris Margareth Thatcher — masing-masingnya dari Partai Republik dan Partai Konservatif yang memang berhaluan Liberalisme.

Ambruknya Blok Sosialis yang ditandai runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya negara adidaya Uni Soviet segera memperlancar liberalisasi pasar sedunia (atau: globalisasi pasar neo-liberal). Termasuk lewat pelembagaan resminya yakni Uruguay Round, GATT, dan WTO.

Di tangan para politisi serta pemimpin dunia, praktik dari apa yang disebut “Neo-Liberalisme” ini bukanlah bulat-bulat menuruti teori Friedman (pasar harus bebas murni) dan mencampakkan Keynes maupun pelbagai program kesejahteraan sosial. Gerakan baru yang juga terkenal dengan sebutan Washington concensus ini bukan menganjurkan pasar sebebasnya dan membiarkan liarnya kapitalisme. Justru dari Washington concensus inilah diamanatkan, antara lain, apa yang kemudian sangat terkenal: good governance. Penyelenggaraan negara yang adil dan transparan, demi menanggulangi problem kemiskinan, ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan hidup.

Kalau sudah sedemikian benarnya konsepsi Neo-Liberal, dan bahkan sudah disempurnakan dalam Konsensus Washington, lalu mengapa dianggap berbahaya?

Penyebabnya adalah paduan dari dua sisi. Sisi yang satu, kenyataan bahwa globalisasi pasar liberal (WTO) tak kunjung membawa hasil sebagaimana yang dijanjikan. Para ekonom WTO pernah menghitung, bahwa penerapan WTO/GATT yang membentuk sinergi segenap daya ekonomi global ini akan segera melonjakkan omzet perekonomian dunia sampai lebih 200 kali lipat. Tapi, mana?! Malah resesi serta krisis tetap terjadi, dan dengan efek contagion yang makin meluas cepat — krisis domestik menjadi krisis global. Lingkungan hidup terus dihancurkan.

Sisi lainnya, citra Liberalisme/Kapitalisme, dengan nama baru apapun, tetap adalah momok yang dipandang sebagai sesuatu yang secara pasti membawa celaka dan azab. Ketimpangan sosial, yang bersimbiosis-mutualistis dengan ketidakadilan.

Para pendukung Neo-Lib berdalih, bahwa belum ternyatakannya semua janji teoretis dari sistem ekonomi Pasar itu hanya karena belum sepenuhnya WTO diterapkan. Negara-negara ekonomi besar seperti AS dan Jepang bukan saja masih tetap tangkas melakukan proteksionisme, tapi bahkan memang tak mau langsung meratifikasi WTO yang sudah digulirkan sejak tengah dasawarsa 1990-an.

Tapi adakah negara yang rela untuk tak melakukan proteksi, rela membiarkan rakyatnya menderita dan kas negara menipis, ketika proteksi bisa dengan mudah dilakukan?!

Kepentingan rakyat agar terhindar dari kelaparan pada hari-hari ini tentu saja tak akan sudi ditukar dengan janji teori “globalisasi pasar liberal” untuk masa depan yang pula belum jelas.

Jadi, dimanakah masalah yang sebenarnya?

Masalahnya yang sesungguhnya adalah teori neo-liberalisme, seperti juga liberalisme/Pasar Bebas Smith-Walras, dan Keynes beserta seluruh penganut serta penyempurna teorinya, semuanya masih belum benar. Masih salah. Belum memadai.

Inti ilmu ekonomi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan di tengah kelangkaan, belum mereka temukan dan konstitusikan secara tepat.[1] Maka, bahkan untuk menilai kekeliruan sistem yang lain — Keynes menilai kekurangan Adam Smith, Friedman menilai kekurangan Keynes*, kaum Marxis menilai kesalahan sistem pasar, dan semua terhadap semua — belum tepat. Masih salah secara mendasar. Demikian pula para perumus kebijakan ekonomi di tiap negara dalam hal memposisikan dan memfungsikan tiap-tiap teori ekonomi yang diajukan tersebut, keliru dan salah kaprah.[2]

Sementara pengamat kian terbingung-bingung. Seorang Boediono terlihat mendukung program tertentu neo-liberalis, tapi ia pun kontributor penting konsep Ekonomi Pancasila Mubyarto. Sumitro Djojohadikusumo eksponen partai sosialis yang berasas Marxisme, tapi ia pun sohor sebagai bhegawan sistem ekonomi pasar. Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh Muslim yang saat memimpin bank sentral merintis penerapan prinsip-prinsip ekonomi liberal yang dinilainya rasional dan menuju hasil yang jelas. Tahun 1990-an Megawati, puteri Sukarno, dibantu Kwik Kian Gie, mencetus Manifesto yang terang-terangan pro-liberalisme sebagai solusi dari sistem serba sentralistis dan monopolistis era Soeharto. Tapi pada 2009 Megawati-Prabowo mengusung Ekonomi Kerakyatan. Sedang Kwik Kian Gie kini membantu Wiranto yang juga mencetus manifesto tapi pro-ekonomi kerakyatan. Para pengamat yang jadi bingung itupun lantaran keliru mempersepsi posisi dan fungsi dari tiap teori ekonomi. Terbelenggu dalam pola pikir ideologis.[3]

Mitologisasi Liberalisme generasi pertama sudah berakhir pada Great Depression sejak dekade 1920-an. Keynesianisme dengan segenap instrument IMF dan World Bank, yang semula dipandang sebagai juru selamat, pun sudah membawa pada bermacam krisis. Janjinya mengendalikan inflasi sembari membuka lapangan kerja sepenuhnya (full employment), tapi yang terjadi adalah fenomena yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya: pengangguran bertumpuk bersamaan angka inflasi melangit. Begitu juga Neo-Lib. Para ekonomnya pernah menjanjikan — dengan hitungan sangat eksak — omzet ekonomi global akan segera berlipat ganda hanya dalam sedikit tahun setelah diterapkannya globalisasi pasar neo-liberal (WTO). Tapi, mana?! Yang muncul justru krisis global, dan akan semakin sering datang tanpa diundang. Di tangan para ekonom WTO, sistem neo-liberal dipercaya bukan saja mencipta keseimbangan pasar sempurna yang memberi kemakmuran bagi setiap bangsa seperti dijanjikan Adam Smith, tapi juga dihitung secara eksak sebagai mesin ekonomi raksasa yang menjalin sinergi sejagat untuk segera melipatgandakan produksi dunia. Tapi sekarang kenyataan, yang disaksikan dunia masih berupa kebalikan dari janji neo-lib. Ketimpangan terus melebar, perekonomian setiap bangsa terlalu rentan resesi dan krisis.

Yang dibutuhkan sebenarnya adalah ilmu ekonomi kumulatif yang berinti pada pengembangan daya kreatif manusia.

Sebagaimana teori Keynes maupun Marx bukan salah semua. Begitu juga ide-ide sosial ekonomi yang dibawa para nabi setiap agama sejak zaman dahulu telah memberi kontribusi penting bagi perkembangan ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi adalah upaya menjawab kebutuhan real makhluk manusia yang sejumlah di antaranya tak boleh ditunda. Kita tak boleh terkungkung sacara ideologis dalam paham tertentu saja. Seperti ketika penderita penyakit demam berdarah stadium gawat dibawa ke rumah sakit, para dokter tentu tak boleh sibuk berdebat dulu tentang aliran ilmu kedokteran manakah yang akan dipakai menangani pasien, agar pasien tak keburu meninggal. Tiap pengetahuan memiliki ilmu kumulatifnya. Di dalam mana setiap aliran atau mazhab menyempurnakan ilmu itu dengan mengisi titik-titik fungsi sesuai hakikatnya masing-masing untuk digunakan pada sesuai kebutuhan pada kondisinya yang cocok.[4]

…ooo0ooo…

*) Catatan: Tentang kritik yang tak memadai dari Milton Friedman, maupun semua kritik lain, terhadap kekeliruan dan kegagalan sistem ekonomi mainstream/Mixed-Economics Keynesian/ Ekonomi “Jalan Tengah”:

Semua kritik yang diajukan terhadap Sistem Pasar/Keynesian (Mixed-Economics, Jalan Tengah), tidak tepat. Meski bukan berarti sistem ekonomi rezim Keynesian yang sudah diperlakukan sebagai “ilmu ekonomi kumulatif” sehingga menjadi sistem mainstream umumnya negara-negara ini memang sudah benar. Sistem yang sudah terbukti gagal dan sangat berbahaya ini keliru, tapi kekeliruannya hanya dapat dilihat dari perspektif ilmu ekonomi yang mengutamakan daya kreatif warga.[5]

Tidak memadai dan kelirunya kritik Friedman terhadap Keynes, terlihat jelas dalam kerangka kritik yang benar terhadap Keynesianisme. Kita akan menyimak sebagian kekeliruan kritik Friedman tersebut, sekaligus melihat kekeliruan teori ekonomi Milton Friedman itu sendirinya, dalam petikan dari buku Matindas, Paradigma Baru Politik Ekonomi. Kritik Total terhadap Sistem Ekonomi Mainstream Seluruh Dunia (1998) hlm.259-64:

“Ekonomi keynesian, melalui penciptaan permintaan agregat, menambah intensitas dan daya dari dua akar penyebab inflasi alamiah. Memasok dana belanja yang besar dan sekaligus mendorong gerak orientasi pada komoditas-komoditas favorit dengan kecepatan gerak konsentrasi(-konsumsi) yang sangat tinggi, dan memperbesar gejala monopoli melalui praktik-praktik kolusi oleh kalangan pemerintah yang kini mengurus manajemen pembangunan ekonomi. Gerak penaikan harga laksana air bah tanpa bendungan, sudah langsung beriring penurunan nilai uang. Inflasi lalu hadir bersama kebanjiran komoditas tertentu, dan kelangkaan kebutuhan lainnya (termasuk kebutuhan pada barang-barang yang tak diproduksi dalkam negeri) dalam kondisi dana permintaan yang besar. Harga semua kebutuhan “penting” menjadi tinggi, di tengah ketidakmampuan daya beli sebagian besar warga. Harga modal pun naik, sehingga semakin menurunkan produksi masyarakat. Kreativitas agregat masyarakat tak sepadan dengan dana yang dicurah pemerintah (yang selalu bertambah pada setiap tahun fiskal baru). …tidak menumbuhkan produksi. Yang terjadi hanyalah keasyikan konsumsi di atas permukaan pasar yang mengambang (tidak berpijak solid pada produksi real, dan dengan sikap konsumen yang gampang dipermainkan): harga melayang-layang tinggi.

“Itulah yang sebenarnya dilihat kaum monetaris (Friedman dan semua penganutnya) saat mengkritik ekonomi mainstream ala Keynesian, tetapi mereka hanya melihat proses-proses di atas permukaan saja. Tidak pada faktor-faktor penyebab yang mendasar dari inflasi, dan tidak pula melihat lebih dalam mengenai faktor dasar penumbuh produksi. Program Friedman, bahkan kaum supply-side economics, tanpa upaya yang lebih menjamin pertumbuhan produksi real, sehingga hanya mengulang kegagalan dan bencana keynesian melalui cara supply-uang model lain.

“Monetarisme, bahkan keynesianisme, tak bisa lagi menanggulangi masalah inflasi sedemikian, baik yang ditimbulkan oleh swasta kapitalis (yang justru baru mau dituju pasar bebas Friedman) maupun oleh pemerintah ala keynesian. (Penentu kebijakan ekonomi negara) …hanya bisa melakukan tindakan membolak-balik instrumen keuangan, dengan “akibat samping” yang telah mereka anggap sekadar konsekuensi kecil: tertundanya produksi dari rakyat kebanyakan (ketika suku bunga pinjaman ditinggikan) yang belum tentu akan masih bernafas di saat nanti dana dimurahkan, atau membuat tenaga penahan laju inflasi yang ketika nanti penahan tersebut dicabut maka inflasi segera melesat melampaui lajunya yang biasa. Dan yang sudah rutin, yaitu pontang-pantingnya pemerintah untuk menyesuaikan nilai mata uang… kesibukan rutin yang kendati selamanya dilematis (dan serba berakibat buruk). Hingga pada satu titik, dimana sejenis instrumen moneter aneh dan pula mengerikan, yakni devaluasi, terpaksa ditempuh sebagai langkah sangat logis dan bahkan penyelamat.

“Kritik Friedman terhadap mainstream sangat sempit, maka keliru. Ia hanya terpaku pada sebab-sebab yang ditimbulkan sistem ekonomi ala keynesianisme (sebelum ada teori Keynes tentu saja memang sudah banyak negara yang menyelenggarakan sistem ekonomi pasar dengan intervensi pemerintah dalam peningkatan kemampuan dana masyarakat, termasuk pasokan dana besar melalui program sosial), dalam hal ini inflasi, walaupun ekonomi keynesian memang adalah yang menambah parahnya masalah inflasi di zaman yang sudah maju ini. Penerapan obat inflasi yang diresepkan Friedman, yakni rasionalisasi (yang lebih sering berarti pengecilan, karena menjadi koreksi terhadap Keynesian yang expend) jumlah pasokan uang beredar, hanya membawa penyempitan lapangan kerja dan usaha (— sebagaimana yang paling khas dialami AS dan Inggris setelah Presiden Reagan dan PM Thatcher menuruti Friedman), sementara pada banyak kasus pun terbukti bahwa inflasi tidak otomatis meningkat seiring banyaknya uang beredar (sejumlah negara berkembang sempat membuktikannya, karena dana itu terpakai oleh produksi real yangmemang pekerjaannya masih sangat lowong di negeri-negeri ini; Indonesia, misalnya, karena banyaknya penduduk danluasnya daerah yang masih harus dipenuhi keperluan dasar dan sarananya melalui pembangunan oleh proyek pemerintah, sering mengalami “berkat” kasus ini).

Keynesianisme memang memperparah masalah, tetapi penerapan pasar bebas Friedman maupun teori mana saja yang tidak mengandung program pengembangan daya kreasi warga dan penolakan yang tersistem terhadap perilaku tak adil para penyelenggara pemerintahan, niscaya akan menuju pada inflasi tinggi yang berbahaya bagi rakkyat banyak serta perekonomian bangsa pada umumnya.

“Keluasan dari antero lingkup yang dicermati sebagai obyek teori Milton Friedman memang jauh lebih kecil dibanding Keynes. Ia tidak memasukkan di dalam pertimbangan teoretisnya bahwa semua yang kemudian ia jadikan alternatif teorinya itu sesungguhnya sudah gagal sebelum Keynes dan teori Keynes itu justru ingin membenahinya. Monetarisme memang tak lebih dari kurban pesona sihir ‘equilibrium pasar’, ke dalam situ ia datang mengabdi, pada fungsi urusan keuangannya.

“Lebih dari itu, monetarisme pun tidak melihat sejumlah potensi kegagalan lain yang tidak dilihat Keynes dulu, seperti realitas objektif penyalagunaan wewenang public dalam rangka kepentingan ekonomi pihak tertentu. Ia juga lebih kecil dari Keynes karena sama sekali tidak mencakupi kemungkinan seperti yang Keynes namakan “Efek Multiplikasi”: jika tidak ada faktor yang secara positif dapat menumbuhkan produksi, maka kita hanya akan terus mengantongi uang yang harus dipasok itu, cuma karena produksi real di masyarakat tak kunjung terlihat. Pasokan uang oleh Keynes memang suatu tindakan spekulatif, hasilnya pun sering hanya mengacaukan, tetapi tetap ada harapan dibanding bila kita tidak berbuat apa-apa. Sebetulnya, jika seluruh teori monetarisme hendak diterapkan secara konsekuen, kita akan menyaksikan pelbagai akibat yang lebih mengerikan, yakni himpunan akibat yang dilukiskan oleh seluruh teori kritik atas “kapitalisme”, dan ditambah semua akibat kegagalan teori equilibrium pasar. Di zaman kita sekarang ini, berbeda dengan di masa-masa sekitar tahun 1940-an dimana fantasi tentang mekanisme pasar bebas Adam Smith dan Leon Walras dengan mudah dibuktikan sebagai hanya ilusi. Sekarang, bersama misalnya John Kenneth Galbraith dan Emmanuel Wallerstein kita bisa mendapat kesempatan menyaksikan betapa pasar bebas yang dirindukan kembalinya oleh Friedman itu bisa terwujud sebagai ‘kenyataan’, yaitu melalui kekuatan fantastis dari segelintir perusahaan raksasa dunia yang mampu mereproduksi diri dan bermetamorfosis menjadi sebuah “pasar bebas” itu sendiri, atau menciptakan “pasar bebas” dalam perutnya yang mampu dikembangkan sedemikian besarnya sehingga kita merasa seperti tidak dalam kungkungan melainkan berada di alam bebas, atau membuat pasar bebas internasional dimana tentakel-tentakel penghisapnya bisa disamarkan melalui pelbagai aturan mekanisme yang sah.

“Sebaliknya dari sebuah kritik revolusioner atau kontra revolusi terhadap pemikiran Keynes, Friedman justru mendasari teorinya pada dogmatika dasar yang juga menjadi pangkalan iman Keynes: pasar bebas beserta kerangka mekanisme keseimbangannya. Meski, seperti Keynes, Milton Friedman bertolak dari kesadaran mengenai disequilibrium, namun justru sebab itulah teori monetarisme dengan ketat dan khas mengarah pada misi keramat: mewujudkan fantasi equilibrium yang sempit itu.”


Penjelasan bahwa teori equilibrium pasar sebenarnya hanya fantasi yang tanpa dasar obyektif, dapat disimak dalam petikan berikut ini:

“Semenjak teori pasar dirumuskan dengan ‘sempurna’ oleh Adam Smith (1723-1790), sedari itulah segenap pemikiran politik ekonomi setiap manusia masuk tertelan sepenuhnya ke dalam sistem yang ternilai paling logis, paling menjanjikan kesempurnaan hasil, sekaligus paling alamiah, sekaligus pula paling mudah sebab hanya membiarkan ia berlangsung secara sendirinya. Setiap manusia tersedot ke dalam sistem pasar, tak kecuali mereka yang menentangnya secara teoretis namun tetap tergulung dalam pukauan sihir logika-logikanya. Sistem pasar bebas lalu menjadi induk yang melahirkan pelbagai teori ekonomi lainnya secara terus-menerus selamanya. Sistem pasar bebas menjadi awal dan akhir dalam setiap teori ekonomi yang bahkan hendak mengoreksinya. Padahal sesungguhnya ajaran sistem pasar — yang bahkan sering ditaati lebih daripada agama — itu adalah salahsatu salah kaprah terbesar dalam peradaban umat manusia. Dan sudah terlalu besar jumlah korban yang harus jatuh demi menegakkan sistem ini.

“Teori Pasar Bebas mengajarkan, manusia tidak boleh menggunakan kekuasaan apapun termasuk kekuasaan negara untuk campur tangan menahan ataupun mengubah arah gerak perekonomian masyarakat. Biarkan saja gerak bertambahnya harga, karena dengan harga tinggi yang menjanjikan laba besar itulah akan banyak orang tertarik untuk memproduksi barang dan jasa jenis itu sehingga membanyaknya jumlah produsen yang saling bersaing itu akan menurunkan dengan sendirinya tingkat harga. Biarkan saja gerak bertambahnya produsen baru untuk produk yang ada, jangan ditahan oleh niat untuk monopoli produksi barang dan jasa tersebut, karena dengan banyaknya jumlah produsen maka mereka akan saling bersaing meningkatkan mutu produksi dan menurunkan harga jual sehingga masyarakat secara keseluruhanlah yang akhirnya akan mencapai kemakmuran, menikmati pemenuhan kebutuhan dengan produk berkualitas tinggi namun berharga murah tersebut. Teori Pasar Bebas menganjurkan agar manusia dan negara jangan menghalangi, melainkan beri kebebasan sepenuhnya, bagi setiap gerak perekonomian. Setiap gerak tersebut — gerak menaiknya harga, gerak menaiknya jumlah produsen — adalah gerakan-gerakan yang menarik maupun mendorong seluruh komponen perekonomian menuju keseimbangan sempurna. Menuju keseimbangan menyeluruh di dalam mana produksi memenuhi seluruh kebutuhan seluruh bangsa dengan mutu yang optimal dan dengan harga yang serba terjangkau kemampuan seluruh warga. Setiap campur tangan terhadap gerakan-gerakan arus pasar tersebut hanya menuju kerugian menyeluruh. Melindungi produsen tertentu agar tak mati dan tersia-sia investasinya ketika datang banyak produsen baru, hanya akan membuat produsen lama itu berlaku seenaknya menaikkan harga jual dan tak perduli lagi untuk meningkatkan kualitas produksinya pada taraf yang masih tetap buruk sehingga seluruh perekonomian bangsalah yang dirugikan. Melindungi masyarakat konsumen dengan melarang naiknya harga adalah tindakan yang sia-sia dan sekaligus merugikan seluruh bangsa karena produsen atau pedagang tetap saja bisa menahan untuk tidak atau belum menjual barangnya di pasar dalam negeri maupun menjualnya ke wilayah kekuasaan negara lainnya lewat penyelundupan, dan menahan naiknya harga itu sama dengan menahan datangnya produsen baru yang justru akan berperan menurunkan harga secara pasti.

“Teori yang sarat dengan logika yang terkonstruksi kuat dalam sebuah sistema yang utuh komprehensif ini pastilah memberi kepuasan dalam hal intelektualitas manusia, arah etika politik, hingga naluri-naluri manusiawi yang paling mendasar. Hingga kini tak pernah ada kritik yang cukup tuntas untuk menolak “kebenaran” dari teori pasar bebas, meski apapun wujud kegagalan sistemnya maupun segala akibat paling buruk dari penerapannya. Sejumlah ketidakbenaran objektif dalam sistem pasar yang sudah dilihat sejak zaman para pemikir ekonomi Neo-Klasik, hanya mendorong para ekonom untuk membuat koreksi tambal-sulam demi mengamankan tetap digunakannya sistem pasar. Bahkan Marx yang selama ini dikenal sebagai lawan diametral dari sistem ekonomi pasar, pun sebetulnya membangun segenap teorinya di dalam kerangka logika gerak dialektis pasar. Tak kecuali teori nilai dan upah Marxisme, yang jadi inti atom dari antero bangunan teori ekonominya, tak lain adalah berdasar persamaan matematis dalam logika keseimbangan pasar.

“Tapi benarkah janji kemakmuran bangsa-bangsa dari Teori Pasar Bebas yang memang sangat logis itu? Tidak! Teori Pasar Bebas sesungguhnya tidak objektif. Apa yang diamati Adam Smith — yang selanjutnya dijadikan komponen teorinya — itu sebenarnya tidak benar seperti yang dikembangkan dalam pikirannya sendiri. Gerak-gerak arus pasar yang dilihat Smith, yang lantas dikira sebagai gerak-gerak yang saling mengimbangi (— harga yang bergerak naik akan menggerakkan datangnya banyak produsen baru sehingga penawaran akan bergerak naik dan harga pun akan bergerak turun —) dan menuju keseimbangan menyeluruh, itu sebenarnya tidak menuju keseimbangan menyeluruh. Karena arah dari setiap gerak itu memang tidak untuk saling mengimbangi.

“Setiap gerak arus pasar itu tidak sedang menyeimbangkan, dan tidak menuju keseimbangan menyeluruh, arah gerakannya tidak sejauh itu. Gerak-gerak itu tak lain hanyalah koreksi atau pukulan sosial yang sedang menghukum individu-individu masyarakat yang tidak kreatif dalam hal produksi maupun konsumsi. Ketidakkreatifan, termasuk mereka yang tak lagi berinovasi setelah produknya laku di pasar, mengundang terjadinya konsentrasi dalam jenis produksi yang merupakan pukulan bagi mereka sendiri. Harga yang bergerak naik terus, atau setidaknya tak bisa diturunkan secara alamiah dari tingkat kemahalan tinggi, adalah pukulan terhadap masyarakat konsumen yang tak kreatif dan yang hanya menimbulkan konsentrasi dalam jenis konsumsi tertentu. Jadi, gerak-gerak tersebut bukan digerakkan oleh the invisible hand yang ideal untuk menuju keseimbangan umum beserta kemakmuran seisi bangsa-bangsa, tetapi adalah hukuman oleh tangan sosial terhadap ketidakkreatifan.

“Kreasi adalah wujud paling hakiki dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang terus berkembang di tengah kelangkaan. Untuk itu kehidupan perekonomian yang bebas dibutuhkan sebagai kondisi sistemik bagi perwujudan daya kreatif warga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengembangkan perekonomian masyarakat menyeluruh. Demikian pula dari sisi baliknya, kondisi politik maupun ekonomi dan kultur yang bebas hanya mampu dipertahankan oleh masyarakat yang kecerdasan kreatifnya memadai.

“Kebebasan dalam kehidupan ekonomi masyarakat tidak ditujukan, dan memang tidak menuju, pada apa yang dibayangkan sebagai mekanisme keseimbangan umum oleh teori Pasar Bebas. Dengan atau tanpa teori, pasar dan kebebasan memang merupakan kenyataan objektif dalam kehidupan alamiah ekonomi masyarakat manusia, kenyataan objektif yang pula menjadi iklim kondusif pengembangan kreativitas. Sifat bebas dari pasar ini ditujukan terutama pada kepentingan kreativitas warga, sementara kebebasan dalam teori Pasar Bebas para ekonom Klasik disyaratkan untuk bisa berlangsungnya secara sempurna mekanisme keseimbangan umum demi menghasilkan kemakmuran umum yang padahal semuanya itu hanya fatamorgana.

“Yang dibutuhkan ialah kebebasan pasar di atas dasar paradigma kreativitas rakyat. Dan di dalam pengertian pasar bebas dengan paradigma kreativitas inilah justru Teori Pasar Bebas Klasik menemukan penyempurnaannya, atau tepatnya didayagunakan, dengan cara menghadirkan sumber daya utama segala upaya pemenuhan kebutuhan, yakni daya kreasi, dan mengenali segala yang merupakan keterbatasan teori lama tersebut untuk dilihat sebagai rambu-rambu agar lebih menjamin pencapaian apa-apa yang terbaik dari sistem pasar itu.

“Kebebasan dalam aktivitas ekonomi masyarakat tidak ditujukan pada apa yang dibayangkan sebagai keseimbangan menyeluruh oleh teori pasar bebas. Gerak-gerak tertentu dalam kehidupan ekonomi masyarakat yang kelihatan berarah pada pengimbangan-pengimbangan (seperti keseimbangan antara permintaan dan penawaran) itu sudah jelas hanya ditimbulkan oleh arahan dari kesadaran akan kelangkaan dan tentu saja tidak akan menuju pada suatu kesatuan sistemis keseimbangan menyeluruh yang sudah terhitung sebelumnya.

“Tujuan ideal kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk yang diharapkan melalui kondisi kebebasan, hanya dicapai oleh daya cipta. Gerak-gerak yang seakan saling mengimbangi itu hanya diabdikan pada kesadaran akan kelangkaan, termasuk menghukum pihak-pihak yang mempertahankan kelangkaan oleh sebab ketidakkreatifannya dalam produksi maupun konsumsi. Bukan ditujukan untuk pengembangan dan pertumbuhan ekonomi; bukan menuju “kemakmuran bangsa-bangsa” seperti yang dibayangkan teori pasar bebas Adam Smith dan semua pengikutnya hingga hari ini.

“Di dalam kebebasan yang mengiklimi kreativitas, dan berdasar kebebasan yang didorong dan diarahkan kreativitas, masyarakat manusia membuat keputusan untuk melaksanakan program-program khusus sebagai pilihan-pilihan politik perekonomian tertentu sesuai kebutuhan situasional. Pemilihan-pemilihan yang merupakan wujud dari kebebasan itu sendiri, dan yang pemilihannya berlangsung secara bebas. Sifat bebas dan pembebasan inipun tidak diartikan sedemikian rupa sampai harus merupakan kemutlakan yang sudah berarti tidak bebas lagi. Kebebasan, seperti juga pasar bebas, tidak harus disembah bulat-bulat dan ke dalamnya manusia menyerahkan diri dengan keyakinan bertaraf iman. Sistem sosial ekonomi tidak dibiarkan bebas otonom di dalam mana manusia hanya menerima hasilnya yang niscaya, karena memang tak ada pasar bebas yang berjalan mekanistis deterministis itu. Baik pilihan-pilihan sistema tertentu maupun kebebasan itu sendiri, sepenuhnya ditentukan oleh keputusan manusia. Desisionik dengan manusia sebagai subjek, bukan melulu mekanistik deterministik yang di dalamnya manusia hanya sepenuhnya sebagai objek.

“Sesungguhnya apa yang dianggap Keynes sebagai sifat “revolusioner” dari teori ekonominya — revolusi terhadap teori pasar mekanistis deterministis dari para ekonom Klasik dan Neo-Klasik — adalah kesadaran akan kebenaran ini: unsur keputusan manusia. Keputusan untuk mengatasi problem (kemacetan) mekanisme pasar. Keputusan manusia itu, dalam sistem masyarakat, dijalankan oleh penyelenggara negara; dan unsur peran pemerintah itulah yang sifatnya revolusioner bagi sistem pasar liberal. Kebenaran yang, sebetulnya, sudah ditemukan gurunya Keynes, Alfred Marshall (1842-1924), namun yang tidak dilihat sebagai hal istimewa, apalagi untuk menyebutnya revolusi, karena kebenaran ini merupakan kenyataan yang sedemikian mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebetulnya pula, logika ini sudah diumumkan lama sebelumnya sebagai teori sosial ekonomi oleh John Stuart Mill (1806-1873).

“Liberalisme total bukanlah tujuan dan bukan kebenaran ideal. Liberalisme ataupun deregulasi total dan eternal jelas bukan arah formasi dan reformasi ekonomi yang benar. Peran negara tetap perlu untuk melaksanakan pelbagai program tertentu yang diputuskan secara bebas dan demokratis, termasuk program yang bersifat sosialistis.

“Setiap pengambilan keputusan program ekonomi berikut pelaksanaan dan pengawasannya, berlangsung dalam kelembagaan kehidupan bernegara yang sistem demokrasinya harus sedemikian rupa mampu menjamin tegaknya azas keadilan bagi warga dan memberi yang terbaik bagi kemanusiaan bangsa. Negara adalah fungsi pembangunan kesejahteraan rakyat secara adil serta pemenuhan kemanusiaan sejati.

“Peran penting negara dalam optimasi pembangunan ekonomi masyarakat manusia, termasuk pelestarian daya dukung alam bagi kehidupan, mensyaratkan sistem penyelenggaraan negara dengan kesiapan memadai dan handal, dan tentunya tetap terjaga posisi real tertinggi dari kedaulatan rakyat, sebagaimana sistem politik yang diamanatkan dalil-dalil negara yang sebenarnya atau negara-manusia. Sebaliknya, kesadaran serta ketegasan konstitutif mengenai peran penting negara dalam kehidupan ekonomi — tidak selamanya memandang campur tangan negara sebagai gejala “etatisme” yang setitik pun mesti dipunahkan karena dianggap bertentangan dengan demokrasi namun dalam praktiknya negara memang tak pernah tidak diperankan — akan membuat kita lebih jernih mengawasi gejala-gejala dimana negara menjadi sumber distorsi pasar, sumber pemborosan dan segala bentuk inefisiensi pembangunan, pembesaran faktor kekuasaan yang (melalui cara-cara monopoli, monopsoni, perpajakan secara kurang benar, dan sebagainya) sampai mengganggu rasionalitas tatanan ekonomi.

“Di samping sebagai wahana pencapaian ke depan menuju target-target baru sesuai perkembangan dalam garis progresivitas peradaban masyarakat manusia, demi penegakan keadilan yang menjadi satu fungsi utama negara, maka — dalam rangka kehidupan ekonomi rakyat yang adil dan berdaya maju — negara pun harus terus-menerus menghilangkan sisa-sisa maupun akibat dari zaman pra-negara (state of nature) ataupun pra-negara modern, seperti sistem hak pemilikan tanah yang tak rasional dan cuma merupakan sisa-sisa salah kaprah dalam pengertian mengenai hak azasi manusia.

“Peran pemerintah untuk pelbagai program pilihan politik publik, antara lain difungsikan pada kerangka pasar bebas untuk, secara positif, mengisi pelbagai kekurangan konseptual dari rangka teoretis dan praktisnya (termasuk elemen yang semestinya merupakan paling utama bagi kehidupan ekonomi masyarakat manusia: faktor daya cipta; pemerintah memprioritaskan pembangunan yang diarahkan khusus bagi pengembangan kreativitas warga; sehingga mekanisme pasar bisa berkembang bukannya mengerdil melalui gerak-gerak pengimbang yang menuju konsentrasi-konsentrasi), dan secara negatif mencegah serta menghindari pelbagai akibat buruk bawaan pasar bebas. Akibat bawaan dimaksud, seperti: (a) Distribusi yang tak adil dari modal ataupun redistribusi pendapatan nasional yang justru disebabkan penerapan azas persamaan sebagai langkah adil, padahal penerapan itu di atas kondisi awal para warga yang pada kenyataan historis-aktualnya tak merata kemampuannya; (b) Pemanfaatan arena kebebasan tersebut oleh kekuatan-kekuatan ketidakadilan dengan segala cara yang sering tampak resmi dan wajar untuk mengangkangi hak-hak publik melalui jalan kolusi dan monopoli; (c) Kecenderungan dari kelompok-kelompok modal besar, dan memang sanggup, untuk memanipulasi gerak mekanisme pasar sehingga seturut dengan arah kepentingan mereka, termasuk arah pengalokasian sumber-sumber ekonomi masyarakat, arah pembentukan pola konsumsi, yang kesemuanya mengarah pada pengagungan sektor-sektor produksi tertentu yang sudah dan hanya dikuasai mereka, dengan kemungkinan akibatnya antara lain diabaikannya produksi kebutuhan pokok rakyat oleh sistem produksi nasional; (d) Menanggulangi apa yang oleh para ekonom disebut ‘kemacetan-kemacetan alamiah’ dalam sirkulasi perekonomian, seperti yang antara lain dilihat Keynes pada proses pembentukan investasi masyarakat yang terhalang karena konsumsi tidak tumbuh sebagai padanan memadai dari produksi; (e) Pembangunan prasarana dan pelbagai fasilitas publik yang terlalu dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu pemegang kekuatan ekonomi besar ataupun mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan; ataupun bahaya-bahaya lain sebagai bawaan inheren sistem pasar bebas.

“Dari mekanisme pasar memang tak mungkin diharapkan datang segala-galanya yang dibutuhkan masyarakat. Unsur desisionik atau keputusan manusia, dan peran negara, senantiasa dibutuhkan, bahkan demi apa yang sebenarnya ingin dituju sistem pasar bebas. Yang penting ialah cara atau sistem pengambilan keputusan publik yang terbuka, transparan, dan disepakati bahwa pilihan suatu langkah adalah yang terbaik ditimbang dari segala segi — termasuk segi hubungan perdagangan internasional. [Pada taraf ketinggian tertentu kemajuan ekonomi suatu bangsa, deregulasi nasional maupun internasional niscaya akan menjadi kebutuhan setiap negara, di samping sebagai kebutuhan sistem perdagangan internasional yang ideal. Dan untuk mencapai taraf tersebut, dibutuhkan program penguatan produksi dalam negeri, yang layak didukung komitmen dan aturan internasional. Jika perlu, demi keperluan tindakan sementara berupa proteksi terhadap luar maupun perlakuan istimewa oleh pihak luar atas produk eksport negara yang masih perlu dibantu, ditempuh pemberian kompensasi bagi negara luar itu sesuai konsensus bilateral maupun multilateral. Program pemerintah berdimensi monopolistis ataupun proteksionistis dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, pada taraf perekonomian belum begitu tinggi, pun biasanya tak terlalu mengganggu kepentingan negara lain meski aturan perdagangan internasional memberi kebebasan eksport baginya. Hal tersebut mengingat besarnya biaya transportasi yang disebabkan selain oleh jauhnya jarak tempuh dan bea masuk, juga volume cargo dari barang kebutuhan pokok rakyat itu biasanya besar-besaran, sehingga amat mengurangi daya saing harga produk eksport mereka.” [Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, hlm.893-9]



[1] Benni E.Matindas, Negara Sebenarnya, 2005; hlm.14-5 dan 887-92. Lihat juga: Matindas, Paradigma Baru Politik Ekonomi, 1998, hlm.119-23.

* Karena uraian ini cukup panjang maka dicantum sebagai Catatan pada bagian akhir artikel ini.

[2] Kekeliruan mendasar dari teori Pasar Adam Smith maupun Friedman, lihat: Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, hlm.893-911. Kekeliruan Keynesianisme dalam teori maupun praktik, lihat: Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, hlm.912-31. Kekeliruan Marxisme dalam teori maupun praktik, lihat: Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, hlm.67-85 dan 932-38.

[3] Matindas, “Sistem Ekonomi Negara Disembahkan Total pada Berhala-Berhala Ideologi”, dalam Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, Bab.XVII.1., hlm.875-87.

[4] Tentang ilmu ekonomi kumulatif, lihat: 1. Benni E. Matindas, Oiko-nomi yang Justru Mencipta Krisis, Resesi, Ketimpangan Sosial, dan Menghancurkan Ekologi, 2009; 2. Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, 2005, hlm.884-7.

[5] Matindas, Paradigma Baru Politik Ekonomi. Kritik Total terhadap Sistem Ekonomi Mainstream Seluruh Dunia, 1998; lihat juga: Matindas, “Mainstream: Mixed-Economics Keynesian, Ilmu Ekonomi Kumulatif”, dalam Negara Sebenarnya, 2005, Bab XVII. Bgn.4.